Rabu, 21 Mei 2008

CERITA MYO (bag.1)


CERITA MYO
(believe me, this is just a fiction)

Myo bingung setengah mati. Kekasihnya yang seharusnya melamarnya pada bulan Oktober, malah bilang putus di bulan yang sama. Myo enggak tahu harus berbuat apa. Setengah dari hatinya ingin menjerit histeris, setengah hatinya lagi ingin menangis.
Sebenarnya Myo tahu benar betapa brengsek kekasihnya itu. Kekasihnya itu selalu terlihat tersiksa ketika bersamanya. Entah kenapa dia begitu, padahal Myo selalu berusaha membuatnya senang. Myo tidak pernah berani membuatnya dalam keadaaan tidak bahagia satu detik pun. Cewek ini selalu menuruti apa yang kekasihnya itu minta. Dia juga selalu berusaha memajang senyum, meskipun hatinya meringis atau kesal menahan emosi.

Bagi Myo dia memang wajib melakukannya. Bagi Myo menunjukkan emosinya sendiri adalah dosa. Terlarang.

Sebenarnya Myo tidak sakit jiwa. Namun, dia memang selalu berada dalam kondisi “mengerti”. Mengerti perasaan orang lain, mengerti mengapa diri sendiri harus mengalah, mengerti mengapa orang lain posisinya adalah lebih penting daripada dirinya sendiri.

Itulah kenapa dia enggak protes ketika ayahnya berkata kalau kakaknya adalah anak cewek satu-satunya di keluarga pada calon besannya (dan melupakan fakta kalau diri Myo eksis). Myo juga bersikap biasa saja ketika dirinya terpaksa tidur di ruang tamu di saat saudaranya memutuskan tinggal di kamar miliknya selama satu bulan.

Jadi ketika tiba-tiba kekasihnya itu mengucapkan “putus” tiga kali berturut-turut tanpa henti di telepon, Myo bingung harus berbuat apa. Myo bingung harus marah atau menangis. Kalaupun dia marah, itu pasti akan sangat mengganggu perasaan kekasih, eh, mantan kekasihnya itu. Lagipula, tangisannya bisa saja membuat perasaan mantan kekasihnya itu jadi tidak enak.

Tapi yang Myo rasa, hatinya melesak sampai ke dalam. Tulang dadanya rontok satu demi satu dan hatinya seperti dihujam-hujam dengan pisau. Mestinya dia menangis keras, karena dia sudah terlalu banyak buat mantannya yang tidak tahu diri itu. Empat tahun Myo menunggu sang mantan pulang dari negeri seberang dengan setia. Dua tahun Myo membiayai kehidupan mantannya yang belakangan kehabisan uang karena sang mantan terlalu sering menyenangkan dirinya sendiri. Satu tahun Myo berkutat dengan dirinya sendiri karena bimbang apakah pantas bertanya “Apakah kamu mau melamarku?” pada mantannya itu. Namun semuanya itu dijawab mantannya dalam waktu kurang dari 1 menit. “Putus!”

Dan Myo pun bingung, dia harus bagaimana.
Kasihan Myo salah sendiri dia lahir dengan pribadi yang selalu berada dalam bayang-bayang. Mestinya dia tahu di mana posisinya. Mestinya dia lebih punya sikap dan berkata dengan lantang bahwa dirinya tak pantas diremehkan. Myo bukan cewek bodoh. Dia juga bukan cewek yang menyebalkan untuk dilihat. Myo mestinya tahu kalau dirinya itu cukup menarik. Dia seharusnya juga sadar bahwa mantannya tidak seganteng itu untuk berbuat sangat kurang ajar dan melecehkan. Mestinya Myo menyerang si mantan dengan jurus Rasengan milik Naruto dan semuanya kembali baik-baik saja.

Namun Myo itu ya, Myo…

Dan mantannya itu kini tetap bisa hidup tenang tanpa harus merasakan betapa sakitnya diserang oleh energi biru milik sang ninja. (to be continued)

Tidak ada komentar: